Indahnya Memajang Bahasa Ibu[1]
Oleh: Ratun Untoro,M.Hum[2]
Penelitian mengenai bahasa ibu di Sulawesi Utara telah banyak dilakukan. Namun, kegiatan itu rupanya tidak mampu menangkal proses kepunahan bahasa ibu. Hasil penelitian hanya sebatas mendokumentasikan dan menunjukkan kekayaan budaya bangsa. Belum ada penelitian yang bisa mengembalikan kewibawaan bahasa ibu sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkat kualitas kehidupan. Latar belakang dan tujuan penelitian bahasa ibu rata-rata masih mengambang dan sangat normatif, misalnya mendudukkan bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan, lambang nilai sosial budaya, wahana pelestarian budaya, dan lain-lain.
Hal itu berbeda dengan penelitian bahasa-bahasa daerah yang dilakukan pada masa pendudukan Belanda. Sejak tahun 1826, Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG, Lembaga Alkitab Belanda) menyediakan tenaga ahli bahasa yang mempersiapkan dan melaksanakan terjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa Nusantara. Tenaga pertama yang diutus NBG ke
Lalu, bagaimana dengan penelitian bahasa daerah yang hanya sekadar menunjukkan kekayaan bangsa? Sebagaimana tema seminar ini sendiri, yaitu “Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai Kekayaan Budaya Nasional”. Hal itu seolah-olah hanya bertujuan memajang dan memamerkan bahasa ibu sebagai bahasa indah yang melengkapi keanekaragaman Nasional. Bahasa ibu hanya menjadi sepatu kaca yang indah dipajang, tetapi tidak bisa digunakan. Mahal tak terbeli tapi tak jua ada yang hendak membeli.
1. Pendahuluan
Seandainya saja konsep pendidikan tinggi “Soetanto Effect” di Negeri Sakura dan 31 paten temuan riset Ken Soetanto yang asli Surabaya itu ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Jawa kemungkinan besar ilmuwan-ilmuwan asing akan berusaha sekuat tenaga mempelajari bahasa dan huruf Jawa. Seandainya temuan Nelson Tansu (lahir di Medan, 20 Oktober 1977) tentang semiconductor lasers, quantum well dan quantum dot lasers, quantum intersubband lasers, sebuah teknologi yang dapat diterapkan di bidang optical communication, biochemical sensors, sistem deteksi untuk senjata, dan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Dan, jika Vennetia Danes (Kelahiran Manado,27 Maret 1962) menulis temuannya di bidang molecular and cellular cardiology yang kemudian mengantarkannya menemukan channel baru penyebab lain pembesaran dan kegagalan jantung dalam bahasa ibunya, yaitu bahasa Tonsea, kita tidak perlu repot-repot mempertahankan agar bahasa itu tidak punah.
Temuan Vennetia Danes tentang Channel baru penyebab pembesaran dan kegagalan jantung yang disebut LVACC (low voltage activated calcium current) di membran sel jantung yang mengatur masuk keluar kalsium di sel jantung dan juga mengatur ritme jantung itu jika ditulis dalam bahasa ibu penemunya, Tonsea, akan menjadi pemicu orang atau bangsa asing mempelajari bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea menjadi bahasa yang perlu dipelajari karena memuat ‘sesuatu’ yang bisa meningkatkan kualitas hidup warga dunia. Bahasa Tonsea bisa menjadi produsen sumber informasi peningkat kualitas hidup. Selama ini, alasan orang mempelajari dan mempertahankan bahasa Tonsea adalah alasan idealis yang kurang bisa menjadi kompas penuntun jalan menuju kemajuan peradaban. Orang hanya tahu bahwa bahasa Tonsea adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang menjadi jati diri dan identitas, memperkaya bahasa Indonesia, aset budaya bangsa, lambang kebanggaan, dan lain-lain. Alasan-alasan idealis itu membingungkan generasi muda saat bergaul di kancah global. Mereka tidak bisa berjalan dengan gagah penuh percaya diri membawa bahasa Tonsea karena bahasa Tonsea tidak (belum digali?) memuat apa-apa yang diperlukan di kehidupan global. Demikian pula kiranya dengan bahasa daerah lain di Nusantara. Bandingkan dengan bangsa Eropa yang dengan penuh percaya diri melangkah ke dunia lain berbekal bahasa ibu mereka.
2. Teori mengenai Kematian/Kepunahan Bahasa
Sebuah bahasa dikatakan mati manakala bahasa itu kehilangan pendukung atau penutur. Pada umumnya kematian sebuah bahasa tidak terjadi secara mendadak melainkan secara bertahap. Dinyatakan oleh
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kematian sebuah bahasa sudah ditunjukkan oleh Swadesh, 1948:235). Daftar faktor-faktor kematian bahasa itu di antaranya dapat ditemukan dalam Campbell (1994:1963). Di antara faktor-faktor itu kebanyakan faktor yang “non-linguistic”. Faktor-faktor itu terutama adalah faktor sosio-politik dan sosio-ekonomik (lihat Janse, 2003:x) Wurm (dalam Janse, 2003) menunjukkan adanya 5 tahapan kepunahan/keterancaman bahasa. Pertama, bahasa yang terancam secara potensial (potentially endangered) yaitu manakala anak-anak lebih suka memakai bahasa yang dominan dan mulai tidak tertarik memakai bahasa ibu-nya. Kedua, bahasa yang terancam (endangered) yaitu manakala penutur bahasa ibu itu yang termuda adalah orang-orang dewasa muda dan sangat sedikit penutur anak-anak. Ketiga, bahasa yang sungguh-sungguh terancam (seriously endangered) yaitu manakala penutur termuda adalah orang-orang yang sudah paruh baya atau lewat paruh baya. Keempat, bahasa yang mendekati punah (terminally endangered) yaitu manakala tinggal beberapa penutur saja yang tersisa. Kelima, bahasa itu benar-benar punah, yaitu manakala sudah tak ada lagi penuturnya.
Menurut Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan faktor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwibahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.
3. Sejarah Panjang Penelitian Bahasa di Sulawesi Utara
Penelitian bahasa-bahasa di Sulawesi Utara setidaknya diawali pada tahun 1826, oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG, Lembaga Alkitab Belanda) yang bertujuan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Utara. Sampai dengan masa kemerdekaan, tokoh-tokoh peneliti bahasa-bahasa di Sulawesi Utara antara lain sebagai berikut.
a. Bahasa Sangir--Talaud
Tahun 1893—1950an: N. Adriani, B.C.A.J. van Dinter, A.J.F. Jansen, F. Kelling, J.G.F. Riedel, Schwarz, C.W.J. Steller, dan lain-lain. Penelitian-penelitian itu sebagian besar diusahakan untuk kepentingan pekabaran Injil. Penerbitannyapun diusahakan oleh lembaga-lembaga Alkitab seperti Nederlandsch Bijbelgenootschap, Het Britsche en Buitenlandsche Bijbel-Genootschap, British and Foreign Bible Society, Balai Alkitab Jakarta, dan Britsch en Buitenlandsch Bijbelgenootschap. Bahasa Talaud: Tahun 1900an—1920an: W. van de Beek, K.G.F. Steller, H.J. Stokking, J.P. Tallens sebagian besar dibiayai dan diterbitkan oleh lembaga Alkitab seperti Mededeelingen van wege het Nederlansche Zendeling-genootschap.
Tahun 1950an—2010: W.E. Aebersold, G. Bawole, J.Akun Danie, Kenneth R, Maryott, Paul Nebath, Martinus Salea, Sneddon, dan lain-lain. Penelitian-penelitian yang dilakukan para tokoh ini tidak lagi dibiayai oleh lembaga Alkitab, tetapi oleh institusi kebahasaan dan kebudayaan seperti KITLV, IKIP Manado, Universitas Sam Ratulangi Manado, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Bahasa, Studies in Philipine Linguistics, Summer International Language, dan The Australian National University. Bahasa Talaud: Tahun 1980an—2010: Paul Nebath, G. Bawole, R. Tingginehe, Alex Ulaen, J.N. Sneddon, dan Marta Salea Warouw. Penelitian-penelitian itu dibiayai oleh lembaga pendidikan (univeristas) atau institusi bahasa dan kebudayaan seperti Pusat Bahasa, Universitas Sam Ratulangi Manado, Summer International Language, dan The Australian National University.
b Bahasa-bahasa Minahasa
Tahun 1860an—1928: G.K. Niemann, Kooders, Brandstetter, N. Adriani, dan Coomans de Ruiter. Penelitian-penelitian mereka diterbitkan oleh lembaga-lembaga pemerhati bahasa dan budaya seperti KITLV dan bukan lagi didominasi oleh penyandang dana lembaga Alkitab. Meski demikian, ada juga beberapa buku tentang ajaran agama Masehi Injili berbahasa daerah seperti Tombulu, Tondano, Tontemboan, dan Tolour. Tahun 1950an—2010: Voorhoeve, peneliti dari Belanda yang dibiayai oleh Zendeling, Stokhoff, HM.Taulu, F.S. Watuseke, J.Akun Danie, Tallei, Pattiasina, M. Salea Warouw dan lain-lain. Penelitian pada tahun setengah abad terakhir dalam rangka ilmiah seperti tesis, skripsi, disertasi, dan penelitian-penelitian yang dibiayai oleh lembaga-lembaga pemerhati bahasa dan budaya seperti Pusat Bahasa, universitas-universitas baik dalam maupun luar negeri.
c. Bahasa-bahasa Mongondow
Tahun 1860an—1950an: N.P. Wilken, Schwarz, Niemann, W. Dunnebier, A.J.F. Jansen, dan lain-lain. Penelitian-penelitian itu sebagian besar didanai dan diterbitkan oleh Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen, Mededeelingen van wege het Nederlansche Zendeling genootaschaap. Sebagian murni untuk pengembangan ilmu bahasa dan budaya sebagian lagi untuk kepentingan pekabaran Injil. Tahun 1950—2010: Mathew Charles, J. Noorduyn, Hunggu Tadjuddin Usup, Sneddon, Nadjamudin Tome, Lalamentik, W.A.L. Stokhof, dan lain-lain yang dibiayai dan diterbitkan oleh universitas dalam dan luar negeri, lembaga pemerhati bahasa dan budaya, seperti Pusat Bahasa,
Penelitian-penelitian tersebut di atas terbagi menjadi dua kepentingan. Pertama untuk kepentingan penyebaran agama dan kedua untuk kepentingan murni keilmuan (ilmu bahasa). Pada kepentingan pertama, bahasa dipelajari betul-betul dan dipahami secara mendalam karena berkaitan dengan penerjemahan Alkitab dan kepentingan kotbah/penyebaran agama. Pada tataran ini, orang sangat peduli dan merasa berkepentingan mempelajari bahasa daerah. Bahkan, tidak mengherankan karena berkaitan dengan penyebaran agama, mempelajari bahasa-bahasa daerah merupakan suatu amal perbuatan berpahala. Dengan demikian, bahasa daerah menjadi sesuatu yang vital bagi perkembangan suatu ajaran.
Pada kepentingan kedua, peneliti memahami, mempelajari, dan mendalami bahasa daerah karena ada biaya dan menjadi pekerjaan. Penelitian pada tataran ini tidak memandang bahasa daerah sebagai sebuah kebutuhan, tetapi lebih karena merupakan kewajiban pekerjaan/profesi. Latar belakang penelitian seperti ini sangat lemah dan bahkan bisa saja penelitian berhenti di tengah jalan saat dana tidak lagi mengucur.
3. Revitalisasi Bahasa Ibu
Perkiraan bahwa setiap dua minggu akan punah satu bahasa di dunia (Dalby, 2002) cukup membuat kita terhenyak. Hal itu kemudian dijadikan acuan kongres-kongres, seminar, dan penelitian-penelitian bahasa. Namun, rupanya penelitian dan pertemuan-pertemuan ilmiah itu belum optimal menghambat laju kepunahan bahasa. Sebagian besar penelitian bahasa-bahasa daerah baru sekadar menjadi potret dan pendokumentasian bahasa (terutama penelitian struktur) sedangkan pertemuan ilmiah sekadar menjadi alat saling mengingatkan akan adanya kepunahan bahasa. Hal itu terjadi karena memang sebenarnya tidak mudah mempertahankan bahasa daerah/bahasa ibu yang tidak memuat ’sesuatu’ yang dibutuhkan kehidupan masa kini dan masa datang. Bahasa ibu sekadar menjadi nostalgia dan pajangan kekayaan budaya.
Usulan-usulan mengenai revitalisasi bahasa daerah sudah banyak diberikan oleh para tokoh dan pemerhati bahasa mulai dari penelitian-penelitian hingga imbauan penggunaan serta pengajarannya. Hal itu bisa saja dilaksanakan meski masih terkesan harus dipaksakan atau dilaksanakan karena menyangkut kredibilitas pemerintah daerah. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar revitalisasi bahasa daerah bukan sebuah keterpaksaan, tetapi menjadi sebuah kebutuhan. Bahasa daerah/ibu bisa menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan jika ia memiliki ’sesuatu’ yang bersifat kekinian. Hal itu bisa diketahui melalui penggalian makna yang tersembunyi di balik kata atau ungkapan yang terdapat dalam bahasa itu. Upaya lainnya adalah memasukkan ’sesuatu’ ke dalam bahasa itu seperti temuan-temuan ilmiah sebagaimana terungkap di awal tulisan ini.
Penggalian makna yang terungkap di balik ungkapan khas bahasa ibu perlu dilakukan untuk menunjukkan pentingnya bahasa ibu itu bagi kehidupan baik masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
4. Penutup
Pendedahan di atas menunjukkan bahwa penelitian-penelitian bahasa daerah di Sulawesi Utara belum mampu menahan laju kepunahan bahasa. Penelitian-penelitian itu baru sebatas memotret dan mendokumentasikan bahasa daerah. Hal itu berguna jika kelak bahasa itu benar-benar punah, setidaknya ada dokumentasinya dan baik dipajang sebagai pemerkaya budaya bangsa.
Salah satu upaya memperlambat laju kepunahan bahasa adalah mengisi suatu bahasa dengan sesuatu yang berguna bagi kelangsungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, L. 1994. “Language Death” dalam Asher & Simpson Vol.4 Janse, M. (editor). 2003. Language Death and Language Maintenance: Theoretical, Practical, and Descriptive Approaches.
Heru Tjahyono. “Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah”.
Schouten, Mieke. 1981. Minahasa and Bolaangmongondow an Annotated Bibliography 1800—1942.
Noorduyn, J. 1991. A Critical Survey of Studies on The Language of
BIODATA
Nama : Ratun Untoro, M.Hum
Instansi : Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara
Pendidikan : S1 dan S2 Sastra Universitas Gadjah Mada,
Penelitian : - “Sasambo, Syair Magi dari Nusa Utara” dibawakan pada seminar HISKI di Yogyakarta
- “Memahami Cerita Posmo” dimuat dalam Widyariset LIPI 2009
- “ Mentalitas Kawula pada Masa Kolonial” dimuat dalam Sawerigading, Balai Bahasa Ujung Pandang
- Beberapa penelitian bahasa dan sastra